RSS

RINAI HUJAN

Setelah sekian lama matahari membuang panasnya ke bumi, hari ini hujan itu pun turun. Damai tercipta saat rintik pertama jatuh ke bumi. Tapi itu tak berlangsung lama, karena detik berikutnya justru menjadi sebuah pertengkaran yang telah lama hilang.
“Hujan! Tak bisakah kau turun lebih hati-hati? Tubuhku telah kering karena musim panas, dan seenaknya kau jatuhkan tubuhmu itu? Mengapa Tuhan tak mengirim gerimis saja dulu? Agar aku lebih siap menyambutmu”.
“ Maaf! Aku tak tau masalahmu. Aku hanya mengikuti apa yang Tuhan perintahkan. Kalau mau, kau berontak saja pada Tuhan”.
“Ah, sudahlah. Percuma bicara denganmu. Ayo! Turunkan rintikmu lebih banyak. Agar tak kudengar manusia itu mengeluh lagi setiap melihat retak di tubuhku ini”.
Itulah ucapan rindu sang bumi terhadap hujan, dan mungkin seperti itu pula perasaanku saat ini. Aku suka hujan meski ia selalu mengundang tangis saat ia datang.
0o0
Malam ini hujan mengetuk atap kamarku pelan. Itu memang kebiasaannya setiap musim hujan tiba. Datang sekedar untuk mendengarkan apa yang aku rasakan. Kusibak tirai kamar perlahan dan kutatap sahabat yang telah lama pergi itu. Sebenarnya sudah lama aku ingin bertanya pada hujan, tentang semua perasaan yang selalu muncul saat Ia datang. Perasaan yang aku tak pernah tau namanya. Tapi, setiap kali Ia datang, pertanyaan itu tak pernah terucap dari mulutku.
Untuk kesekian kalinya aku mencoba menatap hujan. Berharap Ia tahu tentang semua pertanyaanku padanya. Tapi jawaban itu tak pernah ada. Ia selalu saja memantulkan wajah senduku ditubuhnya, membuatku seperti orang gila yang bertanya pada dirinya sendiri, “mengapa ia gila?”.
Kututup kembali tirai kamar yang mulai berdebu. Kuputuskan untuk tak lagi bertanya padanya. Aku lelah. Lelah dengan semua jawaban yang tak pernah aku dapat dan semua sikap hujan yang tak pernah peduli.
Saat aku berjalan menuju tempat tidurku, tiba-tiba saja hujan itu memanggil, menciptakan suara yang lebih keras. Kuhentikan langkahku dan berbalik arah menuju jendela yang kebingungan melihat tingkahku.
“Apa yang kau lakukan? Tak bisakah kau diam dan tak membuatku bingung?”. Tanya jendela itu.
“Aku sendiri pun sebenarnya tak tau apa yang sedang aku lakukan. Tapi aku tak bisa diam saja. Aku ingin tau jawaban dari semua pertanyaanku. Apa kau bisa menjawabnya?”.tanyaku. tapi Ia diam saja. Aku tau Ia tak pernah bisa menjawab semua pertanyaanku. Ya sudahlah, aku juga tak pernah memaksanya.
Kucoba menatap hujan kembali. Mungkin sekarang Ia tau jawabannya. Tapi, setelah begitu lama aku menunggu, jawabannya itu tak kunjung tiba. Untuk kesekian kalinya Ia hanya memantulkan wajah senduku ditubuhnya. Kali ini aku benar-benar marah. Kututup tirai itu dengan keras dan aku pergi ke tempat tidurku. Hujan itu memanggilku kembali, tapi aku tak peduli. Sekeras apapun Ia memanggilku, aku takkan pernah mau menemuinya.
Sunyi kini mengambil alih posisi, menggantikan hujan yang mulai lelah memanggilku. Tapi itu hanya sesaat, karena setelah itu, angin kencang mulai meliuk-liuk di luar sana, mengantarkan secarik kertas yang tiba-tiba saja masuk ke kamarku.
Awalnya aku tak peduli. Tapi rasa penasaranku mengalahkan semuanya. Aku bangun, dan kuambil kertas itu. Ada tulisan di atasnya, meski mulai pudar karena hujan. Setelah berusaha keras, akhirnya aku mampu membaca semua tulisan itu. Sebuah puisi yang ditulis entah oleh siapa.

Genggaman mereka terlalu kuat
Takut ditelan malam pekat
Membuat mereka memelukku
Menjadi makhluk bisu

Aku datang untuk menjamu
Membawa cermin kalbu
Tapi kau tak pernah tau
Selalu saja berlalu

Namaku hujan
Dan tetap hujan


Aku tak tau siapa yang menulis puisi itu. Tapi Ia berhasil membuatku mengerti, mengapa hujan tak pernah mau berbicara. Hujan hanya diciptakan dengan satu suara saja. Dan suara itu yang kita artikan sebagai percikan. Jadi, mengapa aku selalu saja memaksanya bicara? Tapi, jika tak kudapat jawaban dari hujan, lalu dari mana? Bukankah selama ini kedatangannya yang menyebabkan semua pertanyaan itu muncul?.
Di tengah kesibukanku mencari jawaban, Ibu datang bersamaan dengan decitan pintu yang memang sudah tua. Kutatap wajah Ibu cukup lama. Wanita dengan mata sayu itu tersenyum, entah karena apa. Ia menghampiriku dan memelukku begitu erat. Sesuatu yang menjadi aneh dalam beberapa tahun belakangan ini. Aku diam saja, hingga Ia melepaskan pelukannya dan mulai menatapku.
“Rinai sedang liat apa?”. Tanya ibu. Tapi, aku diam saja.
Kemudian Ibu menyodorkan secarik kertas kosong padaku. Aku tau, Ibu tak pernah memaksaku untuk bicara. Karena itulah kertas itu selalu dibawanya kemana saja, agar Ia bisa membuatku berkomunikasi meski lewat sebuah tulisan. Tapi, saat ini aku tak tau apa yang harus aku tulis dikertas itu. Apa yang harus aku katakan pada Ibu? kulihat wajah Ibuku, dan akhirnya kata itupun ku goreskan di atas kertas. “Hujan”. Itu saja.
Ibu tersenyum. Ia menarik tanganku lembut menuju jendela yang kutinggalkan beberapa menit yang lalu. Untuk beberapa saat aku tak ingin mengikutinya ke tempat itu. Tempat yang membuatku tau bahwa tak pernah ada jawaban dari hujan. Tapi wajah ibu membuatku tak mampu menolak.
0o0
Jendela kamar memantulkan wajahku dan Ibuku di tubuhya. Persis seperti apa yang dilakukan hujan. Membuatku mampu melihat senyum ibu di depanku. Ia tersenyum? Ya, Ia selau saja tersenyum di depanku. Bahkan dalam situasi sulit sekalipun.
Ku tatap terus wajahnya tanpa rasa bosan. Bagaimana mungkin aku bosan melihat wajah yang menjadi sumber cahaya kehidupanku? Mata itu, keriput itu, lesung pipit yang mulai tak terlihat itu, dan semua yang ada dalam dirinya, membuat Ia terlihat cantik meski dimakan usia.
Saat aku tengah asyik menatap wajah lembut Ibu, Ia menyebut namaku.
“Apa yang Rinai rasakan saat hujan turun?”. Tanya Ibu dan yang menjadi tanyaku selama ini.
“Aku tak tau jawabaannya, Bu. Banyak perasaan yang muncul saat hujan turun. Tapi aku tak pernah mampu mendefinisikannya. Apa yang harus aku jawab?”. Ungkapku dalam hati. Tapi, hati seorang ibu selalu tak bisa kubohongi. Ia tetap saja tau apa yang aku rasakan dan aku simpan dalam hati. Ia menggenggam tanganku dan menempelkannya di jendela.
“Apa yang kau rasakan sekarang?”. Tanya ibu
Kutulis satu kata di kertas yang dibawa Ibu. “Dingin”.
“Rinai tau, sebenarnya hujan datang untuk Rinai. Ia ingin hati rinai dingin seperti saat rinai menyentuh jendela itu. Tapi Rinai tak mengerti keinginan hujan, dan itu membuat hati Rinai justru lebih marah. Ibu takkan bertanya apa yang membuat Rinai marah. Biar Rinai yang menjawabnya sendiri”.
Kalimat itu singkat. Tapi Ia berhasil masuk ke dalam hatiku dengan leluasa. Ibu benar. Hatiku marah, bahkan terkadang ingin sekali berontak dan melawan. Semua ini berawal dari kecelakaan yang kualami saat musim hujan tahun lalu. Kecelakaan yang merebut semua milikku. Ayah, ka Dewa, Ibu dan aku sendiri. Tuhan berhasil mengoyak hatiku dengan kejadian itu. Ia tak ragu menjadikan Ibu seorang janda dan menjadikanku seorang anak yatim dalam waktu yang bersamaan.
Apakah Tuhan tak ingin aku marah, sehingga Ia kirim hujan ini untukku? Mengapa? Karena Tuhan merasa bersalah dengan apa yang Ia lakukan terhadapku?.
“ Masih belum puas?” Tanya Ibu mengagetkan semua kepingan lamunanku. Aku mengangguk, dan Ibu membawaku ke halaman depan rumah. Ia tinggalkan aku sendirian selama beberapa menit, kemudian Ia datang membawa sebuah pertanyaan.
“Apa yang Rinai rasakan?”. Tanya Ibu seraya merangkulku.
Kutulis kembali kata yang aku punya di secarik kertas yang sama. “Sepi”.
“Rinai ingat, Ayah pernah bercerita tentang anak di kutub utara yang kesepian karena di tinggalkan oleh orang tuanya? Anak itu selalu mengadu pada Tuhan setiap malam. Kemudian Tuhan memeberikan aurora setiap anak itu merasa kesepian. Rinai bisa seperti anak itu, terus mengadu tanpa mengeluh pada Tuhan. Tuhan itu selalu menyayangi hamba-Nya. Makanya Rinai harus yakin, bahwa Tuhan selalu ada di samping kita. Mungkin Tuhan takkan bisa memberi Rinai Aurora seperti yang di dapat anak itu. Tapi, Rinai bisa dapat yang lebih baik. Asal Rinai mau bersyukur”.
Kalimat Ibu kembali membawa kepingan kenangan yang telah usang di arsip otakku. Dulu, ayah selalu duduk di halaman depan untuk menatap langit. Awalnya aku selalu melarang kebiasaan ayah yang seperti orang pengangguran itu. Tapi akhirnya aku tau, mengapa ayah melakukan itu. Ayah adalah orang yang tak pernah berhenti percaya pada Tuhan. Maka saat ia tau, Tuhan selalu menurunkan rahmat-Nya pada malam hari. Ia selalu menunggunya. Ia pernah berkata padaku, bahwa Tuhan tak pernah memberi. Ia hanya menyimpan. Oleh karena itu, kita harus menjemput apa yang kita inginkan. Bukan menerimanya. Tuhan itu sayang pada kita. Buktinya saat ayah merasa kesepian, Rinai datang buat nemenin Ayah. “jadi, kalau rinai ngerasa kesepian, Ayah bakalan datang nemenin Rinai?”. Tanyaku waktu itu. “Tentu. Ayah akan selalu ada kapanpun Rinai minta.”.
Aku tersenyum mengingat itu semua, tapi sekaligus menangis. Jika perkataan Ayah benar, mengapa Ia tak ada hari ini? Mengapa Ia pergi dan membuatku merasa kesepian?. Kulayangkan mataku untuk melihat seluruh sudut malam, hingga mataku berhenti pada wajah Ibu. Ya! Ayah benar. Akan selalu ada teman di saat kita merasa sepi dan sendiri. Buktinya, Ibu ada di sini bersamaku.
Kini aku tahu. Hujan ingin membuatku merasa lega dengan semua hal yang terjadi dalam hidupku, meski itu nampak buruk. Terima kasih Tuhan. Kau kirim jawaban dari pertanyaanku lewat orang terdekatku.
Kulihat wajah lembut di sampingku. “Terima kasih bu, karena udah jadi ibu terbaik untukku”. Ucapku dalam hati seraya memeluknya dengan erat.
Ibu tersenyum dan berkata, “Rinai tau mengapa Ibu memberi nama Rinai?”. Aku menggeleng. “karena Rinai seperti hujan. Selalu menjadi bening indah di mata Ibu dan Ayah. Sekarang juga Rinai seperti hujan. Sama-sama memiliki satu suara. Jika suara hujan bernama percikan. Maka suara Rinai bernama Suara hati. Jangan pernah mengeluh karena Rinai tak dapat berbicara seperti teman Rinai yang lain. Yakinlah, Rinai masih punya suara hati yang dapat membaca dunia lebih dalam dari pada sekedar suara lisan”.
Penjelasan terakhir Ibu memang tak masuk dalam pertanyaanku. Tapi semua itu membuat aku bertekad untuk buktikan bahwa anak bisu sepertiku mampu mengubah dunia. Ku tulis kata terakhir di kertas yang sama. “BISU”, dan aku serahkan pada Ibu. Ibu tersenyum. “Ibu akan selalu jadi kata buat Rinai”. Kata itu membuat rinai kecil jatuh di pelupuk mata. “Terima kasih ibu. Meskipun Rinai gak bisa bicara apapun. Rinai ingin Ibu tau, Rinai sayang sama Ibu”.
Hujan, turunlah! Turunkan rintikmu lebih banyak. Agar percikanmu mampu menterjemahkan suara hatiku dan menyampaikannya pada semua orang, bahwa ada seorang anak yang bahagia disini. Anak itu adalah Aku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: